Bismillah. Alhamdulillah atas nikmat Islam yang hingga hari ini masih kita rasakan. Alhamdulillah atas nikmat petunjuk yang sampai saat ini masih Allah berikan.
Saudaraku yang mulia, apabila kita hendak melihat kepada keadaan bangsa ini, tak usah jauh-jauh kiranya kita bisa melihatnya pada diri kita sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu ayat yang bunyinya ‘balil insaanu ‘ala nafsihii bashiirah wa lau alqaa ma’aadziirah’ artinya, “Bahkan seorang insan itu terhadap dirinya sendiri sangat mengetahui, walaupun dia berusaha mengeluarkan berbagai udzur/alasan.”
Kita tentu menyadari betapa banyak kekurangan dan aib diri kita, dan banyak diantara aib-aib itu yang tidak diketahui oleh orang lain. Tentu kita harus bersyukur kepada Allah dengan ditutupinya aib-aib kita dari pandangan dan penglihatan manusia. Yang membuat celaka adalah ketika kita lupa akan aib-aib tersebut dan memandang diri kita bersih, inilah sumber masalahnya. Bukankah Allah telah mengingatkan (yang artinya), “Janganlah kalian menganggap diri kalian suci. Dia lah yang lebih mengetahui siapakah orang yang lebih bertakwa.” Inilah acapkali yang memperparah keadaan kita… Nas’alullaahal ‘afiyah was salamah.
Secara tidak sadar kita seringkali menyalahkan orang dan pihak lain atas segala kerusakan dan keburukan yang terjadi dengan memosisikan diri kita di lingkaran pembela kebenaran dan sosok suci yang terbebas dari kesalahan. Benar, kita harus mensyukuri nikmat hidayah yang Allah berikan dan kita pun merasa bergembira dengan nikmat hidayah itu, namun bukanlah itu berarti lantas kita menempatkan diri laksana malaikat. Kita adalah manusia yang sedikit atau banyak pasti berbuat kesalahan yang mungkin secara tidak sadar sebenarnya kesalahan-kesalahan kita itulah yang terakumulasi dan pada akhirnya melahirkan kerusakan yang kita cela dan kita mengutuknya habis-habisan. Seolah kita adalah pahlawan. Padahal ternyata sedikit banyak kita pun punya andil sebagai ‘dalang kekacauan’.
Kita harus banyak berbenah dan memperbaiki diri. Kita harus banyak bermuhasabah. Sebagaimana nasihat Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, ‘haasibuu anfusakum qabla antuhaasabuu’ artinya, “Hisablah diri kalian sebelum nanti kalian akan dihisab di akhirat.” Ibnul Qayyim dalam salah satu bukunya mengatakan, bahwa ‘orang yang paling arif adalah yang menjadikan keluhannya tertuju kepada Allah dari -kesalahan- dirinya sendiri, bukan dari orang-orang’. Mengapa demikian?
Banyak kita saksikan orang mengeluh namun yang dia keluhkan adalah Allah dan perbuatan atau ketetapan-Nya, ‘mengapa Allah begini dan begitu’ seolah-olah orang ini lebih paham dan lebih bijak daripada Allah. Ini adalah perbuatan yang sangat tercela. Seperti halnya orang-orang yang mencela waktu, atau mengatakan bahwa hukum Islam bertentangan dengan HAM dst. Demikian pula tidak kalah buruknya adalah orang yang mengeluhkan Allah kepada selain-Nya. Betul-betul ini adalah kedunguan yang sangat besar. Bagaimana mungkin Allah ‘dipermasalahkan’ dan tempat mengadunya pun kepada makhluk yang tidak menguasai sekecil dzarrah pun di bumi maupun di langit?! Seperti halnya orang yang meratapi kefakirannya seraya ‘menyalahkan Allah’ kemudian dia datang ke kuburan wali-wali untuk memohon rizki kepadanya.
Ya, seperti itulah kurang lebih secuil potret bangsa ini. Kerapkali kita menyalahkan dan mengkritik pihak-pihak di luar diri kita sementara kita lupa untuk memarahi dan menghukum kesalahan kita sendiri. Dan yang lebih parah lagi adalah keadaan orang-orang yang masih saja menggantungkan harapan dan hatinya kepada sesembahan selain Allah; apakah itu nabi, wali, batu, pohon, jin, dsb.
Anda berharap negeri ini berlimpah barokah dari langit dan dari bumi? Ingatlah, bahwa perubahan dan perbaikan itu dimulai dari diri kita sendiri. Sejauh mana kita bisa membersihkan akidah dan iman kita dari syirik, kekafiran, dan kemaksiatan. Sejauh mana diri kita telah berusaha mengikuti tuntunan dan menjauhi perkara-perkara yang diada-adakan di dalam agama. Seperti kata pepatah ‘siapa menanam maka dia lah yang akan menuai’. Apa yang kita tanam di dunia ini sehingga kita mengharapkan kebahagiaan abadi di akhirat nanti? Apa yang kita tabur di dalam hati sehingga kita mengidamkan kesalihan pribadi dan negeri ini?